Masuknyaagama dan tradisi Islam di Indonesia berakibat. Question from @Erick147 - Sekolah Menengah Atas - Sejarah Seluruh daerah Sulawesi Selatan dapat diislamkan dengan cara.. Seliruh daerah Sulawesi Selatan dapat diislamkan dengan cara Answer. Erick147 June 2019 | 0 Replies . Sebutkan nama tiga tokoh yang berjasa menyiarkan agama
Islamisasi di Sulawesi Selatan yang berlangsung sekitar abad ke-16 M, telah membawa perubahan sosial terhadap masyarakat setempat. Setidaknya perubahan itu berlangsung melalui beralihnya agama masyarakat dari agama yang sebelumnya bersifat Hindu-Budha ke agama baru, yaitu Islam. Islamisasi yang berlangsung di Sulawesi Selatan berlangsung melalui pola dari atas ke bawah top down. Artinya, pada tahap awal Islam diterima oleh raja kemudian rakyat secara resmi memeluk agama Islam. Dalam konteks Islamisasi di Sulawesi Selatan, kawasan ini agak terlambat menerima agama Islam dibandingkan dengan kawasan lain di timur Nusantara, seperti Maluku dan Kalimantan. Namun, hubungan perdagangan dengan kerajaan lainnya sudah berlangsung sejak lama. Hal ini dapat dilihat buktinya pada masa pemerintahan Raja Gowa X 1546-1565 M yang bernama Tunipallangga Mapparisi Kallonna bahwa ketika itu telah banyak penduduk asal Melayu yang berprofesi sebagai pedagang dari Aceh, Campa, Patani, Johor, dan Minangkabau yang beragama Islam. Adapun daerah kerajaan yang lebih agama Islam di Sulawesi Selatan ialah Kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan ini yang pertama pula menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Demikian juga peran ulama dan raja yang sangat besar dalam Islamisasi di Sulawesi Selatan. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana proses islamisasi di Sulawesi Selatan yang berlangsung sekitar abad ke-17 M ditinjau dari sejarah islam. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511 M dan jalur perdagangan di Pulau Jawa dan Sumatera mengalami kemunduran, maka jalur perdagangan berpindah ke kawasan timur Nusantara dengan pusatnya Sompa Opu Ibu Kota Kerajaan Gowa-Tallo di Makassar Sulawesi Selatan. Selain menghubungkan wilayah barat dengan wilayah timur Nusantara, lalu lintas perdagangan tersebut juga menghubungkan para pedagang dari berbagai kawasan di Asia Tenggara dan Eropa selama abad 16-17 M. Sebagai bandar niaga terbesar, banyak para pedagang dan pebisnis yang tertarik untuk datang dan melakukan transaksi perdagangan di kawasan ini. Tersebutlah pedagang dari India, Persia, Arab, Cina, dan Eropa. Kedatangan para pedagang dari Jazirah Arab yang beragama Islam inilah yang kemudian mempercepat proses Islamisasi di pusat-pusat kerajaan di Sulawesi Selatan. Namun, di dalam literatur sejarah didapatkan informasi bahwa secara khusus Islamisasi di Sulawesi Selatan tidak dapat dipisahkan dari peran utama tiga mubalig yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di daerah ini, yaitu dari Minangkabau Sumatera Barat yang terkenal di kalangan masyarakat Bugis āDatu Tellueā. Mereka ini ialah Abdul Kadir Datuk Tunggal dengan panggilan Datuk ri Bandang, Sulung Sulaeman yang bergelar Datuk Patimang, dan Khatib Bungsu yang bergelar Datuk ri Tiro. Ketiga ulama ini berbagi tugas wilayah dalam melakukan kegiatan penyebaran Islam. Datuk ri Bandang bertugas di kerajaan kembar Gowa-Tallo, Datuk Patimang bertugas di Kerajaan Luwu, dan Datuk ri Tiro bertugas di daerah Tiro Bulukumba Kadir, 2012; Sewang, 2005168. Penerimaan Islam sebagai agama dan peradaban di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan memperlihatkan pola ātop downā, yaitu Islam pertama-tama diterima langsung oleh Raja, kemudian turun ke bawah yaitu kepada rakyat. Artinya setelah raja menerima agama Islam dan menjadikannya sebagai agama negara, maka otomatis seluruh rakyat kerajaan mengikuti raja memeluk agama Islam. Sejak Kapan Islam Masuk ke Sulawesi Selatan? Pandangan yang berkembang di kalangan masyarakat Bugis dan Makassar Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa agama Islam pertama datang ke daerah ini pada awal abad ke-17. Islam diperkenalkan pertama kali oleh para mubalig dari Minangkabau, Sumatera Barat yang ketika itu masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh Burhani, 1984 62; Said, 2010 313. Mengenai hal ini, Mattulada dalam bukunya Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa seorang ulama dari Minangkabau Tengah, Sumatera Barat, bernama Abdul Kadir Khatib Tunggal tiba di pelabuhan Tallo pada 1605 dengan menumpang sebuah kapal perahu untuk menemui Raja Tallo. Setibanya di pantai, ia melakukan shalat yang membuat heran rakyat yang melihatnya. Raja Tallo yang mendengar berita itu langsung bergegas ke pantai untuk menemui orang tersebut. Di tengah perjalanan ke pantai, di pintu gerbang halaman istana Tallo, raja bertemu dengan seorang tua yang menanyakan tentang tujuan perjalanan raja. Orang tua itu kemudian menulis sesuatu di atas kuku ibu jari Raja Tallo dan mengirim salam kepadanya. Ketika raja bertemu dengan orang aneh di pantai itu, yang tiada lain Abdul Kadir Khatib Tunggal, disampaikanlah salam orang tua tadi. Kemudian mengenai tulisan yang ada di atas kuku ibu jari Raja Tallo, ternyata adalah tulisan yang berlafazkan surah alfatihah. Khatib Tunggal menyatakan bahwa orang tua yang menjumpai raja adalah penjelmaan Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya dari kisah itulah orang Makassar menamakan penjelmaan Nabi Muhammad sebagai āMakassarā Mattulada, 1998 150. Peristiwa tersebut membawa implikasi terhadap diislamkannya Kerajaan Tallo yang diterima oleh rajanya yang pertama, Iā Mallingkang Daeng Mannyonri Karaeng Tumenanga ri Bontobiraeng. Setelah memeluk agama Islam, raja ini memakai nama Islam dengan gelar āSultan Alauddin Awwalul Islamā yang selanjutnya diabadikan sebagai nama perguruan tinggi Islam yang terkenal di kawasan timur Indonesia, yaitu Institut Agama Islam Negeri IAIN Alauddin Makassar yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Islam Negeri UIN Alauddin Makassar. Peristiwa masuknya Islam Raja Tallo pertama terjadi pada malam Jumat 22 September 1605 atau 9 Jumadil Awal 1014 H Noorduyn, 1956 10. Selain itu, terdapat informasi yang masih perlu untuk diteliti dan diuji kebenarannya bahwa sebelum kedatangan ketiga datuk yang berasal dari Sumatera telah ada ulama keturunan Arab yang datang ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan Islam. Ulama keturunan Arab yang dimaksud menurut laporan itu ialah Sayyid Jamaluddin al-Husayn al-Akhbar yang berada di daerah ini sekitar abad ke-14 M Chehab, 1975 15; Pelras, 1996 134; 1999 99. Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan Ketika Kerajaan Gowa Tallo menjadi pemegang hegemoni kekuasaan Islam di Sulawesi Selatan, maka semua daerah yang belum memeluk agama Islam, terutama di daerah pedalaman, seperti Kerajaan Bone, Soppeng, Wajo, dan Sidenreng harus diislamkan. Gerakan ini merupakan gerakan politik atau ekspansi yang dlakukan oleh Kerajaan Gowa Tallo dalam rangka memperluas wilayah kekuasaannya. Dengan memakai media agama Islam, Gowa mengajak beberapa kerajaan di pedalaman Sulawesi Selatan untuk memeluk agama Islam. Namun ajakan Gowa Tallo ini mendapat penolakan. Konsekuensi dari penolakan tersebut menyebabkan Gowa Tallo melancarkan serangan militer ke daerah Kerajaan Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng. Setelah daerah kerajaan ini dikalahkan, maka barulah agama Islam diterima para penguasa dan rakyat kerajaan di pedalaman Sulawesi Selatan. Tersebutlah kerajaan yang memeluk agama Islam karena kalah dalam peperangan adalah Sidenreng Rappang dan Soppeng masuk Islam tahun 1609 M, menyusul Wajo tahun 1610 M, dan terakhir adalah Bone tahun 1611 M Mattulada, 1974 13; Muhaemin, 2010 121. Kehadiran masyarakat Melayu di Sulawesi Selatan, terutama di masa pemerintahan Kerajaan Gowa abad ke-16 M, menunjukkan bukti tentang masuknya agama dan peradaban Islam di kawasan ini. Mereka orang-orang Melayu yang datang dari berbagai negeri, seperti Aceh, Campa, Patani, Johor dan Minangkabau umumnya bekerja sebagai pedagang. Kehadiran mereka telah mendahului ketiga mubalig penyebar Islam dari Minangkabau Sumatera Barat. Orang-orang Melayu yang diberikan tempat oleh pemerintah kerajaan Gowa di daerah Mangallekana, sebuah perkampungan di dekat Somba Opu yang dilengkapi dengan masjid, adalah bukti kehadiran Islam di kawasan ini sebelum tiga mubalig dari Minangkabau tersebut berhasil mengislamkan Kerajaan Luwu dan Kerajaan Gowa Hamid, 1994 79 & 118. Namun demikian, perlu diketahui bahwa dengan kedatangan Islam di daerah ini tidak berarti secara langsung menghilangkan seluruh adat istiadat dan tradisi lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat Mattulada, 1982 40; Djamas, 1998 1. Dalam konteks syiar Islam di dalam masyarakat Muslim, terdapat orang-orang yang diberi tugas khusus untuk mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran agama, nilai-nilai Islam, dan peradabannya kepada seluruh masyarakat. Orang yang diberi amanah tersebut dinamakan mubalig atau ustad atau guru. Mereka juga mengajarkan baca tulis Alquran kepada anak-anak Muslim agar mereka dapat membacaAlquran dengan baik. Mereka inilah yang berperan di dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan pada masanya hingga kurun waktu memasuki abad ke-20 Said, 2010 20. Pada periode pertama perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatan proses islamisasi ditandai dengan konversi keislaman para penguasa atau raja di daerah pesisir atau kota pelabuhan. Kemudian disusul peran mereka sebagai pelindung dalam pengembangan pusat penyiaran Islam di wilayahnya masing-masing. Demikian juga akselerasi proses permulaan islamisasi di Sulawesi Selatan sangat ditunjang dengan sistem pendekatan dan metode dakwah yang dilakukan oleh tiga mubalig dari Minangkabau, yaitu Datuk ri Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk ri Bandang. Mereka menggunakan pendekatan akomodatif serta adaptasi struktural dan kultural, yaitu melalui jalur struktur birokrasi lewat raja, adat istiadat, serta tradisi masyarakat lokal. Hal ini memberikan penegasan bahwa islamisasi di Sulawesi Selatan adalah melalui pintu istana raja Ambary, 2001 35; Noorduyn, 1972 119. Sementara itu, belum ada sumber sejarah yang menyebutkan keberadaan ulama asal Bugis dalam peran islamisasi di Sulawesi Selatan pasca tiga mubalig asal Minangkabau hingga munculnya ulama besar yang terkenal dalam sejarah Bugis dan Makassar, yakni Syekh Yusuf al-Makassari Tajul Khalwati 1626-1669 Hamid, 1994 79. Demikian juga, setelah kepergian Syekh Yusuf. Hasil penelusuran literatur sejarah sulit menemukan nama atau tokoh yang dapat digolongkan sebagai ulama Bugis dan Makassar yang memiliki peran penting dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan hingga memasuki abad ke-20 M. Terdapat dua periode atau masa yang mengalami kehilangan jejak sejarah mengenai islamisasi di Sulawesi Selatan. Pertama, masa yang dimulai sejak penerimaan Islam pertama kali oleh masyarakat Sulawesi Selatan hingga munculnya Syekh Yusuf al-Makassari. Kedua, masa setelah kepergian Syekh Yusuf hingga masa peralihan menuju abad ke-20 M. Dari kasus ini, muncul pertanyaan sejarah, āapakah dalam dua masa atau periode tersebut tidak terdapat ulama atau mubalig Bugis dan Makassar yang mengisi posisi sebagai penyebar agama dan kebudayaan Islam ketika itu, ataukah ada tetapi tidak meninggalkan karya besar yang dapat menjelaskan peran mereka dalam pentas sejarah Islam di Sulawesi Selatanā? Bagian ini merupakan hal yang menarik dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Kajian sejarah untuk mengungkap peran ulama Bugis dan Makassar mulai dari masa yang paling awal di dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan masih sulit disebabkan kurangnya sumber sejarah. Hanya sebagian kecil yang dapat diidentifikasi sebagai ulama Bugis dan Makassar yang paling awal selain Syekh Yusuf, yaitu Abdul Wahab al-Bugisi abad ke-18 M dan Abdul Hafidz Bugis abad ke-19 M. Meskipun para ulama ini cukup terkenal di luar tanah Bugis, tetapi dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan, karya mereka berupa buku atau kitab kurang dikenal, kecuali beberapa karya dari Syekh Yusuf. Hal ini disebabkan karena hampir sebagian besar usia mereka dihabiskan di luar tanah Bugis-Makassar. Syekh Yusuf banyak menghabiskan waktunya di Banten, Tanah Arab, Srilangka, dan Afrika Selatan. Sementara dua ulama Bugis lainnya, Abdul Wahab al-Bugisi banyak menghabiskan waktunya di tanah Arab dan Banjarmasin Kalimantan, sedangkan Abdul Hafidz Bugis banyak menghabiskan waktunya di tanah Arab. Beruntunglah Syekh Yusuf sempat menulis karya atau kitab yang dapat dibaca oleh masyarakat Bugis-Makassar. Syekh Yusuf juga masih sempat mengirimkan muridnya untuk kembali ke tanah Bugis-Makassar mengajarkan Islam, terutama mengenai tasawuf. Tersebutlah beberapa nama murid Syekh Yusuf, yaitu Syekh Nuruddin Abdul Fattah, Abdul Basyir al-Darirul Khalwati dan Abdul Kadir Daeng Majannang Lubis, 1997 24. Mereka inilah yang berhasil mengajarkan dan menyebarkan ajaran tarekat Khalwatiyah yang dikembangkan oleh Syekh Yusuf yang kemudian tersebar luas di daerah Sulawesi Selatan. Proses penyebaran ajaran tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf ini pada periode selanjutnya selalu berada di tangan para elite Bugis-Makassar. Hal ini mempertegas bahwa transformasi ajaran Islam yang diperankan oleh Syekh Yusuf tampak lebih fokus pada usaha mengajarkan tarekat Khalwatiyah pada kalangan masyarakat Bugis-Makassar melalui karya atau kitab yang ditulisnya, baik dalam bahasa Bugis, Makassar maupun dalam bahasa Arab. Tarekat Khlwatiyah ini mengalami perkembangan yang cepat, sehingga menurut seorang ahli Indonesianis tentang Islam, Van Bruinessen 1995 294-296, tarekat ini telah berakar secara kuat di kalangan masyarakat Bugis-Makassar dan menjadi salah satu faktor utama yang memberi warna tersendiri corak Islam di Sulawesi Selatan sepanjang sejarahnya. Abu Hamid 1982 75-77, seorang Antropolog dari Universitas Hasanuddin, mengungkapkan bahwa ada tiga pola pendekatan keislaman yang dilakukan oleh ulama dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Pertama, penekanan pada aspek syariat dilakukan untuk masyarakat yang kuat berjudi dan minum balloā arak, mencuri atau perbuatan terlarang lainnya. Pendekatan seperti ini dilakukan oleh Datuk ri Bandang di daerah Gowa. Kedua, pendekatan yang dilakukan pada masyarakat yang secara teguh berpegang pada kepercayaan Dewata Sewwaeā dengan mitologi La Galigonya, ialah dengan menekankan pada aspek akidah tauhid mengesakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketiga, penekanan pada aspek tasawuf dilakukan bagi masyarakat yang kuat berpegang pada kebatinan dan ilmu sihir black magic. Usaha seperti ini ditempuh oleh Datuk ri Tiro di daerah Bulukumba. Dari penjelasan di atas ada petunjuk mengenai adanya pusat kajian Islam di daerah Sulawesi Selatan pada paruh pertama abad ke-19, seperti di Pulau Salemo, Pulau Karanrang, Balannipa Mandar, Palopo Luwu, Wajo, dan Bone. Namun demikian, harus diakui tidak banyak dari kalangan ulama Bugis-Makassar yang lahir dari pusat kajian Islam tersebut dapat dimasukkan sebagai tokoh pemikir Islam yang menghubungkan jalinan kesejarahan dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Fakta kesejarahan tentang islamisasi di Sulawesi Selatan yang dilakukan para ulama sufi, seperti Syekh Yusuf dan yang lainnya, telah menggugat tesis bahwa para pedagang yang merupakan aktor utama dalam proses Islamisasi di Nusantara mulai dipertanyakan. Dalam bahasa Taufik Abdullah, para ahli masih memperdebatkan tentang kemungkinan pedagang sebagai penyebar agama. Menjadi persoalan, dikarenakan apakah pedagang, yang tentu saja perhatian utamanya adalah mencari untung, betul-betul sanggup menyebarkan agama Islam? Abdullah, 1988 1. Dalam hubungannya dengan persoalan ini, studi yang dilakukan oleh Anthony H. Johns semakin memperkuat pendapat bahwa para tokoh sufi dan tarekatlah yang mampu menyebarkan agama Islam di Indonesia sampai ke pelosok daerah pedalaman dan terpencil Johns, 1993; Azra, 1999 34. Hasil Proses Islamisasi Hingga Awal Abad Ke XX Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, norma adat yang dinamakan pangadakkang atau pangadereng dilebur bersama dengan norma agama yang kemudian disebut āsaraāā. Karena itulah, pelanggaran terhadap norma agama diidentikkan dengan pelanggaran adat. Integrasi nilai ajaran Islam ke dalam adat kehidupan masyarakat menyebabkan lahirnya sistem nilai baru, seperti adeā, rapang, wari, bicara, dansaraā. Disebabkan adanya sifat penyesuaian, maka unsur saraā diterima ke dalam pangadereng. Melalui pranata saraā, maka berlangsunglah proses penerimaan Islam yang memberi warna kepada pangaderengseluruhnya sehingga di kalangan orang Bugis muncul pemahaman bahwa Islam itu identik dengan kebudayaan Bugis. Oleh karena itu sangat aneh apabila ditemukan ada orang Bugis-Makassar yang bukan Islam. Apabila hal ini terjadi, berarti mereka melakukan pelanggaran terhadap pangadereng Mattulada, 1995 351. Dalam konteks islamisasi di Sulawesi Selatan, akulturasi Islam dengan budaya lokal dapat ditelusuri melalui dua aspek. Pertama, dalam bidang kepercayaan. Contohnya di dalam pelaksanaan ritual keagamaan, seperti acara doa ātudang sipulungā dan ābarazanjiā yang dilakukan ketika hajat seseorang terkabul sebagai pertanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain itu, proses islamisasi ini terlaksana dengan baik karena adanya metode dan pendekatan yang dilakukan para mubalig, terutama di masa-masa awal masuknya Islam di Sulawesi Selatan yang bersifat akomodatif. Mereka memakai pendekatan adaptasi struktural melalui pintu istana raja dan tetap menghargai nilai-nilai budaya lokal yang dapat diislamkan. Pendekatan islamisasi seperti ini dinamakan demostifikasi atau penjinakan Muhaemin, 2010 128. Pendekatan melalui penjinakan ini diartikan bahwa semakin besar unsur pengorbanan dari penerima budaya maka proses akulturasi berjalan lamban. Sebaliknya, makin besar hubungan dan kecocokan dengan tradisi lokal, makin lancar pula proses akulturasi berlangsung. Misalnya pada acara āmabbarzanjiā. Sebelum kedatangan Islam, acara ini biasanya diisi pembacaan naskah La Galigo dan Meong Palo Karellae. Hal ini membuktikan para ulama pembawa agama Islam tidak berusaha menghilangkan atau menolak budaya lokal masyarakat Bugis Makassar, tetapi bahkan mengislamkan dengan jalan mengganti bacaan mereka dengan bacaan sejarah kehidupan Rasulullah Muhammad SAW yang dikenal dengan ābarazanjiā Kambe, 2003 32-33. Fakta kesejarahan lainnya ialah bahwa Islam yang berkembang di Sulawesi Selatan adalah Islam yang berkaitan erat dengan adat. Hal ini dapat diketahui dari latar sejarah kehadiran tiga tokoh pembawa Islam ke daerah ini, yaitu Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk Patimang, mengingat ketiga tokoh ini adalah merupakan ahli agama Islam yang kuat dalam pengetahuan sufistik tasawuf. Mereka bertiga diutus untuk menyiarkan Islam kepada masyarakat Sulawesi Selatan yang terkenal sangat mistik yang ajarannya bersumber dari kitab I La Galigo dan Lontarak. Memasuki awal abad ke-20, sebagai implikasi dari proses islamisasi yang sudah berlangsung lama maka bermunculanlah sejumlah pusat pengkajian Islam di pedalaman Sulawesi Selatan. Tersebutlah beberapa tokoh ulama yang memegang peranan penting di dalam transformasi pemikiran Islam, seperti Kyai Haji Muhammad Asāad. Dia adalah seorang ulama Bugis yang paling berjasa melahirkan generasi ulama Bugis periode selanjutnya. Kyai Haji Muhammad Asāad kemudian mengembangkan sistem pendidikan untuk mencetak kader ulama yang dinamakan āPesantren Asāadiyahā di daerah Sengkang Wajo. Dari lembaga inilah lahir tokoh ulama terkenal Bugis, seperti Kyai Haji Abdurrahman Ambo Dalle, Kyai Haji Muhmmad Daud Sulaiman, Kyai Muhammad Abduh Pabbaja, Kyai Haji Abdul Malik, Kyai Haji Muhammad Yunus Marta, Kyai Haji Marzuki Hasan, Kyai Haji Haruna Rasyid, Kyai Haji Abdul Muin Yusuf, Kyai Haji Daud Ismail, Kyai Haji hamzah Badawi, Kyai Haji Hamzah Manguluang, dan Kyai Haji Abdul Kadir Khalid Hafidh, 1981/1982 35. Mereka, para ulama yang disebutkan di atas, dalam melakukan syiar Islam kepada masyarakat cenderung bersikap akomodatif dan toleran. Dengan pendekatan ini, Islam yang berkembang di Sulawesi Selatan adalah Islam yang egaliter, toleran, dan terbuka terhadap akulturasi budaya setempat yang berciri lokalitas Sulawesi Selatan, dan bukan Islam militan dan radikal melainkan Islam yang akomodatif. Dalam proses interaksi antara Islam dengan budaya lokal Sulawesi Selatan, telah terjadi penerimaan dan penolakan Islam di satu pihak, dan juga proses penyesuaian budaya lokal dengan konsep Islam dipihak lain. Salah satu usaha mempertemukan tradisi Islam dan tradisi lokal ialah melalui pintu tasawuf. Penutup Islam datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1605 ketika tiga tokoh pembawa Islam dari Minangkabau menginjakkan kakinya di daerah ini. Islam saat pertama kali diterima di Sulawesi Selatan adalah bersifat damai tanpa kekerasan, dan melalui pintu istana yang dimulai dari Raja kemudian turun kepada rakyat top down. Namun ketika, pemegang hegemoni kekuasaan Islam di Sulawesi Selatan Kerajaan Gowa Tallo hendak meluaskan pengaruhnya ke wilayah pedalaman, maka terjadilah perubahan pola islamisasi dari yang bersifat damai menjadi kekerasan militer. Hal ini terjadi karena pihak kerajaan di pedalaman, seperti Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng menolak takluk dan menerima Islam dari Gowa. Sumber Anzar Abdullah via
Dikampunginilah yang dikenal "kampung Jawa Tondano" atau lebih populer disebut kampung jawa atau "Jaton", sebagai tempat Islam pertama yang dikembangkan oleh "kiai Mojo" dan kawan-kawannya, dengan proses dan cara-cara: (1). Melalui jalur perkawinan dan (2) melalui jalur kesenian yang dikenal dengan "Slawatan Melayu".
Homepage / Tugas / Seluruh daerah Sulawesi Selatan dapat di Islamkan dengan cara..., A. Mendatangkan mubalig dari daerah lain, B. Penyerangan dan penaklukan, C. Menempatkanguru dan tokoh agama pada tiap daerah, D. Memperbanyak sekolah agama dan pesantren, E. Menyesuaikan agama dan tradisi lokal
SULAWESISELATAN Kamis, 22 Maret 2012 Kerajaan Gowa-Tallo; (Ekspedisi Islam Oleh "Serambi Madinah" dari Timur Bagian 1) Sejarah Gowa tentu tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Daerah ini menjadi salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang kini berpenduduk tidak kurang dari 600 ribu jiwa yang mayoritasnya adalah Muslim.
KerajaanSiang juga menjadi salah satu kerajaan Islam yang berkembang di wilayah Jazirah Sulawesi Selatan, tepatnya di Kecamatan Bungoro. Daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Siang sekarang ini bernama Desa Bori Appaka, Bungoro, Pangkajene, yang pernah disinggahi Kapal Portugis pada tahun 1542 dan 1548.
PedofiliaTerjadi Hampir di Seluruh Sulawesi Selatan . Perkembangan teknologi informasi ikut memberi andil bila tidak disertai pendidikan moral. Edisi, 12 Mei 2014. Administrator. MAKASSAR
Makassar (Tagar 4/2/2019) - Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan Bank Sulselbar meluncurkan layanan Simpanan dan Pendapatan Pajak Daerah (SiPiJar). Layanan ini memungkinkan masyarakat untuk membayar pajak kendaraan bermotor dengan cara menyicil.
HArX. 0co2prkl4e.pages.dev/1430co2prkl4e.pages.dev/5530co2prkl4e.pages.dev/4760co2prkl4e.pages.dev/3200co2prkl4e.pages.dev/5400co2prkl4e.pages.dev/3680co2prkl4e.pages.dev/5990co2prkl4e.pages.dev/497
seluruh daerah sulawesi selatan dapat diislamkan dengan cara